Kumenitip rasa pada setiap kata dalam bait-bait puisi. Jiwa bersenandung mengeluarkan isi jiwa. Jika ada resah, benci, rindu, senang, bahagia dalam deret kata kan kupahat biar semuanya lepas menghempas setiap gelomang resah yang menganyutkan jiwa. Hanya dalam Puisi....Selamat Datang...Selamat Membaca...Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh...

TEORI SASTRA

KESUSASTRAAN

Pengertian Kesusastraan
Kesusastraan berasal dari bahasa sangsekerta. Su berarti indah, baik, berfaedah. Sastra berarti huruf atau tulisan (Mariskan; 1980: 33). Jadi, kesusastraan adalah kumpulan buku-buku yang indah bahasanya. Selanjutnya, (Mariskan; 1980:33) mengemukakan tiga definisi yaitu : a) segala sesuatu yang tercetak. Hal ini termasuk buku-buku ilmiah, medis, filsafat, dan sebagainya. b) karya-karya besar yang terkenal. Dasar penilaiannya memakai nilai estetis dan atau taraf ilmiah. c) sastra dibatasi pada seni sastra yang bersifat imajinatif.
Berdasarkan dari beberapa definisi di atas, disimpulkan bahwa kesusastraan adalah karya imajinatif yang indah menggunakan bahasa dan simbol-simbol sebagai media dalam menuangkan karyanya kepada penikmat sastra

Fungsi Sastra
Berbicara fungsi seni sastra agaknya lebih baik kita meninjau dari sudut hakikatnya, karena hal itu akan memberikan arah dalam menentukan fungsi. Hakikat dan fungsi seni sastra merupakan dua hal yang saling berkaitan; justru itu dalam kaitan ini dibahas fungsi seni sastra berdasarkan hakekatnya.
Sifat keguanaan karya sastra lebih banyak berhubungan dengan pemberian konsumsi batin penikmat. Karya sastra dapat berguna karena memancarkan pengalaman jiwa yang tinggi, hebat, agung sehingga dapat bermanfaat dalam memberikan pengalaman jiwa kepada penikmat. Horatius berkiblat bahwa fungsi sastra hendaknya memuat dulce (indah) dan utile (berguna). Konsep ini lalu diistilahkan oleh Wellek dan Werren (dalam Suwardi Endraswara, 2005:160) bahwa fungsi sastra adalah dedactic-heresy, yaitu menghibur sekaligus mengajarkan sesuatu. Karya sastra hendaknya membuat pembaca nikmat dan sekaligus ada sesuatu yang bisa dipetik. Selain itu, karya sastra hendaknya memiliki fungsi use dan gratifications (berguna dan memuaskan) pembaca. Sehingga, pembaca akan merasakan fungsi sastra dari karya sastra yang dikomsumsinya.
Dengan demikian fungsi seni sastra adalah menyenangkan dan berguna. Perlu juga diketahui bahwa fungsi tersebut tergantung dari manusia dan masyarakat. Oleh sebab itu, dalam menentukan fungsi karya sastra adalah tergantung sikap kita dalam menempatkan karya sastra sebagai karya imajinatif.

Fungsi Pengajaran Sastra
Pendidikan mempunyai tujuan yang direkomendasikan ke dalam kurikulum. Dalam kurikulum itu terdapat “materi” yang melibatkan sastra. Berarti, antara pendidikan dan sastra adalah dua aspek yang saling menunjang. Dalam sastra juga sering memuat pendidikan, dan sebaliknya dalam pendidikan memerlukan sastra sebagai wahana dalam mendidik bangsa. Karena itu, kalau kurikulum pendidikan menggunakan sastra, sebenarnya telah ada upaya untuk memfungsikan sastra. Hal ini diyakini bahwa selaras dengan kodratnya, sastra inheren unsur pendidikan yaitu:

memberikan wawasan kemanusiaan.
Dengan demikian, pengajaran sastra dalam konteks pendidikan tak akan sia-sia. Karena, di dalam sastra itu sendiri terdapat beraneka ragam aspek pendidikan, mulai pendidikan watak, keindahan, religius, moral dan seterusnya. Banyak orang telah sepakat, bahwa sastra yang baik akan mencerminkan nilai pendidikan yang baik pula. Pendek kata, sastra dan pendidikan adalah dua aspek pendidikan yang memiliki akses sedikit berbeda. Namun, keduanya seringkali (dapat) juga bertemu. Pada suatu saat pendidikan memerlukan sastra dan sastra pun demikian juga. Maksudnya, kedua cabang itu nyaris perlu “ruang komunikasi” untuk saling berdialog dalam rangka membangun manusia.
Baik sastra maupun pendidikan, sebenarnya terfokus pada ikhwal kemanusiaan. Wilayah garap sastra selalu berpusat pada manusia. Karena itu, sastra yang bebas kemanusiaan sering tidak terpakai dalam dunia pendidikan. Begitu juga pendidikan yang lepas dari kemanusiaan jelas akan menjadi sorotan sastra. Pendek kata sastra dan pendidikan memang dua hal yang saling lengkap melengkapi dalam mewujudkan tugas kemanusiaan.
Melalui pengajaran sastra kita dibawa ketingkat manusia terdidik. Yakni manusia yang mampu berpikir tentang hidup, pandai memahami rasa hidup, menghayati kehidupan dengan arif, dan mempertajam pengalaman-pengalaman baru. Melalui pengajaran sastra pula, akan membawa subjek didik untuk memahami diri secara individu dan kelompok, sehingga kelak menjadi manusia yang utuh (purna). Subjek didik akan menjadi cendikiawan yang bermental baik, akan menjadi intelektual yang tidak kering dari wawasan humanistis, dan akhirnya menjadi manusia yang hebat. Oleh karena itu, sastra memiliki peran penting dalam mendidik manusia menjadi manusia yang sebenarnya (utuh) dalam berpikir dan bertindak.

mendidik jiwa bangsa
Pendidikan yang dimaksud di sini, memang berarti luas. Artinya mencakup baik pendidikan formal (sekolah) dan informal serta non formal. Karena, dapat dikatakan bahwa karya-karya yang akan mendapatkan tempat di masyarakat kalau mampu melukiskan aspek pendidikan di ketiga jalur pendidikan tersebut.
Dunia pendidikan secara tak langsung mengharap agar sastra menjadi salah satu alternatif jitu terhadap masalah-masalah kehidupan. Sastra diharapkan menjadi solusi terbaik dengan menggunakan caranya yang khas, “mendidik” masyarakat. Jika sastra mampu “mendidik”, mencerdaskan bangsa, menawarkan nilai-nilai akhlak tentu akan besar sumbangannya terhadap mental bangsa.
Agar sastra memenuhi fungsinya dalam mengemban “amanat” ke dunia pendidikan secara utuh, menurut Moody (dalam Suwardi Endaswara, 2005 : 56) seharusnya pengajaran sastra mencakup empat hal yakni : (1) membantu keterampilan berbahasa. (2) meningkatkan pengetahuan budaya (3) mengembangkan cipta dan rasa (4) menunjang pembentukan watak.
Dari uraian di atas, jelas bahwa pengajaran sastra yang baik, antara lain ditandai dengan kemampuan mengintegrasikan aspek pendidikan di dalamnya. Aspek-aspek pendidikan yang patut tersebut, semestinya ke arah wawasan kemanusiaan. Hal ini disadari, karena subjek didik adalah manusia yang sedang belajar menjadi “manusia”. Dengan demikian, aspek pendidikan harus tetap ada dalam dunia sastra yang akan memberikan wawasan kemanusian yang lebih baik. Sehingga, manusia dapat hidup dalam tatanan yang baik.

memberi wawasan budaya
(Suwardi Endaswara, 2005 : 58) memberikan rumusan tiga macam fungsi pengajaran sastra, yakni: (1) fungsi idiologis, (2) fungsi kultural, (3) fungsi praktis. Ketiga fungsi ini sesungguhnya yang paling menonjol adalah fungsi kultural. Apalagi fungsi idiologis itu sebenarnya termasuk ke dalam fungsi kultural. Sedangkan fungsi praktis, sebenarnya sangat relatif. Artinya, di dalamnya dapat diisi fungsi kultural yang akan menjadi bekal subjek didik hidup nanti. Dengan bekal kultur yang dalam, dimungkinkan hidup mereka nanti akan lebih tertata. Mereka tidak akan bersikap spekulasi dalam hidup, akan menghargai sesama, dan mampu menatap masa depan.


_______________________________________________
________________________________________________________________


CERPEN

Pengertian Cerpen
Dalam sastra kita mengenal prosa dan puisi. Prosa meliputi roman (novel), dan cerita pendek cerpen (cerpen). Ada beberapa batasan mengenai cerpen yang dapat membantu kita dalam memahami apa sebenarnya yang dimaksud dengan cerpen itu.
“Cerpen adalah karangan prosa yang singkat, karena hanya terdiri dari satu kejadian saja.” Mariskan (1980:33). Jadi, segala yang diceritakan untuk menguraikan suatu kejadian dari awal sampai akhir hanyalah yang perlu-perlu saja.
Sesuai dengan namanya, “cerita pendek atau cerpen adalah cerita yang pendek tetapi menyelesaikan semua persoalan secara tuntas dan utuh, sesuai dengan tema yang disajikan oleh pengarangnya.” (Naning Pranoto, Artikel)
Ajib Rosidi (dalam Nensilianti, 95 : 2003) mengemukakan bahwa cerita pendek merupakan cerita yang pendek dan merupakan suatu kebulatan ide.
Dari beberapa batasan di atas, dapat disimpulkan bahwa cerita pendek adalah cerita yang pendek dan ceritanya hanya terdiri dari satu masalah saja.

Sejarah cerpen
Cerpen tertua di dunia ditemukan dalam lembar daun lontar yang diperkirakan ditulis sekitar tahun 3000 SM. Selain itu, ditemukan pula flash-flash di nisan-nisan kuburan tua di Mesir. Di Yunani, cerpen klasik berupa fabel yaitu cerita yang pelakunya para binatang yang dimanusiakan. Fabel ini mulai beredar di masyarakat sekitar tahun 500 SM tetapi baru ditulis dengan rapi pada abad ke II. Pada abad ke delapan, lahirlah serial cerpen lisan klasik dari Arab yaitu 1001 Malam, Cerpen klasik bertema romantik ini pertama kali dipublikasikan dalam bentuk buku pada tahun 1704 di Prancis.
Sejak itulah cerpen memasyarakat dan lahirlah cerpen modern. Karya tersebut dipublikasikan diberbagai media cetak, khususnya majalah sastra. Cerpen berkembang pesat sejak pertengahan abad XIX, tidak hanya di Eropa tapi juga di Amerika Serikat. Washington Irving (1783-1859), Edgar Allen Poe (1809-1849) dan Anton Chekhov (1860-1904) digelari sebagai ‘bapak cerpen dunia’ oleh para kritikus.
Di Indonesia, cerita pendek berkembang mulai sekitar tahun 1930-an dengan hadirnya buku kumpulan cerpen karya M. Kasim berjudul Teman Duduk (1936). Kemudian, pada 1938 muncul kumpulan cerpen Kawan Bergelut, Karya Suman Hs. Cerpen-cerpen yang lahir pada periode ini isinya masih bereorentasi pada cerita lucu. Oleh sebab itu, cerpen pada saat itu lebih mengarah kepada cerita yang kocak. Tahun 1940 muncul kumpulan cerpen Di dalam lembah kehidupan. Kumpulan cerpen karya HAMKA ini banyak melukiskan kehidupan rakyat sehari-hari.
Awal perkembangan cerpen dimulai melalui majalah. Majalah yang pertama yang menampung cerpen adalah Panji Pustaka, Panca Karya, dan Pujangga Baru. Tradisi cerpen Indonesia lahir dengan gaya baru ketika ketika zaman Jepang, yaitu munculnya cerpen-cerpen karya Idrus (terhimpun dalam buku Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma).
Pada tahap selanjutnya, muncul majalah Kisah, Seni, dan Prosa (1955). Pada tahun-tahun ini dikenal sebagai sastra majalah. Ciri cerpen pada saat 1945-1955-an bersifat otobiografi. Baru pada 1966 muncul angkatan majalah Horison. Cerpen-cerpen dalam majalah ini bersifat eksperimental. Pada periode selanjutnya, muncul pencarian-pencarian baru, salah satu cerpen yang terkenal adalah Robohnya Surau Kami (1956) Karya A.A. Navis.

Unsur-unsur Pembangun Karya Sastra Cerpen
Sebuah karya fiksi yang jadi, merupakan sebuah bangun cerita yang menampilkan sebuah dunia yang sengaja dikreasikan pengarang. Karya fiksi, cerpen menampilkan dunia dalam kata, bahasa, di samping itu menampilkan khayalan yang bisa jadi merupakan sebuah kemungkinan terjadi.
Cerpen sebagai sebuah karya sastra fiksi merupakan bagian yang tidak boleh dipisahkan dari berbagai unsur-unsurnya. Sama halnya dengan karya sastra yang lain, cerpen dibangun oleh dua unsur yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur instrinsik adalah unsur yang membangun dari dalam cerita pendek tersebut, seperti, tema, tokoh dan penokohan, alur dan pengaluran, latar dan pelataran, sudut pandang, dan gaya bahasa. Unsur ekstrinsik adalah unsur yang membangun cerita dari luar seperti agama, ekonomi, sosial, politik, budaya, dan sebagainya.
Dari unsur tersebut di atas (intrinsik dan ekstrinsik) merupakan sebuah suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan sebagai satu struktur. Oleh karena itu, kedua unsur itu mempengaruhi keseluruhan struktur fiksi itu.

Tidak ada komentar: